RUU KUHP PERZINAAN MENUAI KONTRA

               (Sumber foto: kompas.com)
Apa sih yang belakangan ini sedang ramai dibicarakan?

apa lagi kalau bukan pembuatan RUU KUHP yang membuat banyak pihak tidak menyetujuinya

apakah para wakil rakyat terdesak untuk membuat RUU KUHP ini di akhir masa jabatan mereka sehingga menimbulkan banyak kontra?

banyak pihak yang tidak setuju dengan RUU KUHP yang telah di buat
Mahasisaa berpendapat bahwa RUU KUHP yang dibuat sangat tidak masuk akal

mahasiswa pun turun ke jalan untuk melakukan aksi demo penolakan terhadap RUU KUHP di depan gedung DPR untuk mengungkapkan argumen mereka kepada para wakil rakyat

dalam aksi demo mahasiswa yang terlaksana sebanyak lebih dari dua kali ini, terlihat cukup banyak mahasiswa yang membawa tulisan yang menyuarakan argumen mereka untuk menyinggung pasal tentang perzinahan

 Walaupun RI-1 telah meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU KUHP, tetap saja demonstrasi terutama dari kalangan mahasiswa tidak dapat terelakkan. Demonstrasi terjadi akibat keberadaan pasal yang dinilai kontroversial dalam RUU tersebut.

Walaupun sudah dibatalkan untuk sementara (ditunda) namun memang ada beberapa hal menarik dalam RUU KUHP ini.

Setidaknya terdapat 8 pasal kontroversial yang memicu terjadinya gejolak di kalangan masyarakat terutama mahasiswa. Salah satunya hubungan seks di luar nikah yang terancam pidana.

persetubuhan bila salah satu atau dua-duanya terikat pernikahan. Namun, dalam RUU KUHP, zina diluaskan menjadi seluruh hubungan seks di luar pernikahan.

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau isterinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II," demikian bunyi Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP yang dikutip, Selasa (25/9/2019).

Detikcom memberitakan, siapakah yang dimaksud 'bukan suami atau istrinya'? Dalam penjelasan disebutkan:
  • Laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
  • Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
  • Laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  • Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
  • Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Untuk bisa memenjarakan pelaku 'kumpul kebo' di atas, harus ada syarat mutlak, yaitu atas aduan suami, istri, orang tua, atau anak. Yang dimaksud anak adalah anak kandung yang usianya telah 16 tahun.

"Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai," demikian bunyi pasal 417 ayat 4 RUU KUHP. 

Bila tidak ada aduan orang tua, anak, istri atau suami, maka negara mutlak tidak bisa mengusut kasus itu .

tertulis di atas bahwa tindak pidana tidak dapat dilakukan kecuali atas pengaduan dari beberapa pihak dan negara tidak akan mengusut lebih lanjut ataupun mengadakan penggeledahan terhadap hal ini.

lalu apa tanggapan beberapa orang tentang pasal tentang perzinahan tersebut?

Majelis ulama indonesia atau MUI membuka suara tentang pasal ini dan menyetujui pasal tentang perzinahan


Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan masyarakat tidak perlu mempersoalkan perluasan pasal zina dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP). Dalam RUU KUHP tersebut, pembahasan zina termaktub dalam pasal 484 ayat 1 huruf e.
Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah mengatakan, berdasarkan pasal tersebut, laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.
Menurut Ikhsan, pasal itu sejatinya amat baik dalam konteks moralitas dan agama. Pasal tersebut, lanjutnya, juga sesuai dengan budaya timur yang dianut Indonesia.
"Ini sudah sesuai kultur Indonesia. Perluasan pasal zina adalah nilai baru. Jadi kita memang harus menamankan nilai-nilai yang sesuai dengan moralitas bangsa ini," ujar Ikhsan di Jakarta, Sabtu (20/9).

Perluasan pasal perzinaan ini juga termasuk dalam usulan MUI dan keresahan kaum ibu untuk anak-anaknya. Oleh sebab, itu MUI tidak setuju jika pasal tersebut direvisi.
Ikhsan juga menuturkan perluasan pasal perzinaan ini dilakukan guna membunuh ajaran-ajaran barat yang di luar batas. Pasalnya, dalam KUHP lama, irisan antara paham kolonial atau barat dengan kultur Indonesia memandang perzinaan masih sangat berbeda. 
Dalam KUHP lama yang notabenenya ciptaan kolonial hanya membatasi perzinaan pada hubungan antara seseorang yang sudah berkeluarga dengan seseorang di luar keluarga mereka. Artinya, seperti perselingkuhan saja, dan itu tidak berlaku pada seseorang yang belum mememiliki hubungan suami istri.
"Makanya ada aturan kumpul kebo. Ini kita perluas agar generasi muda kita juga terjaga. Terbentuk moralitasnya sedari dini," kata dia.
Menurut Ikhsan, masyarakat harus bisa menilai pasal per pasal dalam RUU KUHP secara komprehensif. Selain itu, ia juga mendorong agar RUU KUHP harus dipandang secara integral agar tidak salah menafsirkannya.

Dengan ungkapan tersebut MUI memang sangat mendukung tentang pasal perzinaan dan mengapresiasinya guna melindungi generasi muda dari pergaulan dan seks bebas

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan seharusnya DPR RI dan pemerintah tidak mengurusi 'kamar pribadi' sesorang. Bagi Asfinawati, masalah moralitas merupakan bagian yang sepele dalam RUU KUHP. 
Asfinawati tidak sependapat dengan Ikhsan. Menurut dia, dampak daripada perluasan pasal perzinaan akan berpotensi pada bias kelas.
Artinya, hanya masyarakat yang berada di ruang publik atau perkampungan saja yang berpotensi kuat untuk dihakimi karena terdapat aturan tentang wewenang kepala desa atau masyarakat setempat.
Hal ini kecil kemungkinan mengenai masyarakat yang melakukan hubungan perzinaan di ruang hampa. Sebab, hukum selalu tidak beroperasi di ruang hampa, misalnya di sebuah apartemen.
"Ya nanti tetap saja kalau begitu di apartemen lantai 30 akan lebih aman ketimbang perkampungan. Tetap akan timpang," ujar dia.
Negara indonesia memang tidak membebaskan rakyatnya untuk melakukan perzinaan atau seks bebas karena tidak sesuai dengan kultur negara indonesia yang masih tabu soal seks

Jika ada pro, ada juga yang kontra yakni pemerintah provinsi bali, mereka menilai bahwa tentang hal tersebut adalah hak privasi seseorang dan terlalu sensitif
Mereka juga mengatakan dengan adanya pasal ini akan membuat bisnis pariwisata di bali berkurang

 - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menanggapi terkait revisi RUU KUHP yang disebut akan mempengaruhi pariwisata di Bali.
Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) mengatakan, pasal kontroversial yang perlu ditinjau ulang adalah pasal 417.

Sikapnya yakni meminta agar pemerintah pusat meninjau kembali atau bahkan menghapus pasal perzinahan dalam RUU KUHP tersebut.

"Kalau bisa pasal-pasal yang sensitif atau yang kurang mendukung ke wilayah tertentu, bisa ditinjau kembali atau dihilangkan," kata Tjokorda, di Kantor Gubernur Bali, Senin (23/9/2019).

Ia menilai, pemberitaan di media massa terkait revisi KUHP telah menimbulkan kekhawatiran wisatawan yang akan berlibur ke Bali dan tidak etis menurutnya untuk menanyakan tentang pernikahan

Terutama pasal 417 tentang Perzinahan.
"Pasal yang mendesak itu pasal 417, sebab yang diungkap di media, yang dipersepsikan pihak asing itu bunyi pasalnya itu setiap orang yang melalakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidanakan karena perzinahan dengan pidana penjara satu tahun atau denda kategori II," kata dia.
Menurut dia, soal zina ini tak perlu dituangkan melalui undang-undang. Sebab, norma di masyarakat melalui kehidupan sosial dan agama telah mengaturnya.

“Bagaimana kita mengetahui orang itu sudah menikah atau belum, apa kita perlu menanyakan surat menikah, ini tidak etis. Ini masalah norma saja,” kata dia

Pihaknya akan membuat surat yang kemudian akan disampaikan ke DPRD Provinsi Bali. Diharapkan, kajian tersebut akan selanjutnya dibawa ke pemerintah pusat.
"Sikap saya selaku ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) dan sebagai Wakil Gubernur, itu lebih pada kajian yang saya harapkan akan menjadi pertimbangan khususnya bagi DPRD Provinsi Bali, untuk selanjutnya dibawa ke pusat," imbuh dia.

Lalu dengan adanya pasal ini, pihak asing juga ikut berkomentar, seperti yang telah di jelaskan oleh taufiqulhadi anggota panitia kerja RKUHP

"Tidak perlu khawatir. Saya telah bertemu dengan wakil dubes 10 negara Uni Eropa, yang meminta penjelasan tentang pasal zina tersebut," kata Taufiq kepada wartawan, Selasa (24/9/2019) malam.

Lebih lanjut, Taufiq menuturkan bahwa pasal zina tersebut tidak akan menimbulkan persekusi. Dia menyebut pasal zina dimasukkan dalam delik aduan

"Pertanyaan sama soal pasal zina dan kenapa diatur dalam KUHP? Bukankah itu wilayah pribadi? Saya menjelaskan, pasal zina kami masukkan karena dalam perspektif bangsa Indonesia yang religius, zina itu merupakan perbuatan yang salah secara moral. Karena itu, jika dilakukan akan kena pidana," imbuh Taufiq

"Dengan demikian, jika dilaporkan pihak ketiga, seperti tetangga, tidak bisa mengikat secara hukum, dan tidak bisa diproses secara hukum pula. Pasal zina ini diberlakukan kepada pasangan yang sudah terikat sebagai pasangan suami istri. Dengan demikian, pasal ini juga untuk menjaga kesakralan lembaga perkawinan," ucapnya.

Taufiq juga menegaskan pasal zina tidak berlaku untuk warga negara asing yang tidak terikat pasangan suami-istri.

"Jadi jelas, orang asing tidak kena pasal ini karena ia tidak terikat sebagai pasangan suami-istri," jelasnya.

Taufiq menjelaskan bahwa orang asik tidak terkena pasal ini
pasal zina ini juga diadakan untuk menjaga kesakralan pernikahan

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya juga menilai Australia salah memaknai pasal perzinaan RUU KUHP. Yasonna mengatakan ia tidak ingin pasal tersebut dipersepsikan salah oleh Australia.

"Saya kemarin ketemu dengan salah seorang dubes, saya jelaskan kepada mereka. Itu yang kita tidak mau dipersepsikan salah. Jadi seolah-olah negara kita ini dipersepsikan nanti akan menangkapi semua orang-orang seenak udelnya, sampai jutaan orang akan masuk penjara gara-gara kohabitasi," ucap Yasonna di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).

"Itu hanya mungkin terjadi delik aduan. Jadi kalau orang asing dituduh kohabitasi nanti di Bali, harus datang orang tuanya, harus datang anaknya mengadukan," imbuhnya.

Pemerintah tidak akan mengusut lebih lanjut kecuali ada pihak lain yang lapor

Menurut Sekar Banjaran Aji dari ELSAM, jurang pemahaman di antara para penegak hukum dalam membaca pasal dalam RKHUP sangatlah besar.



"Akan terjadi kekacauan besar terutama terkait pasal yang hidup di masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, Sekar memaparkan hal yang perlu disoroti dari pasal pertama (417) adalah adanya wewenang orang tua untuk mengadukan anak-anaknya.
"Dengan mengatur delik ini sebagai delik aduan yang bisa diberikan oleh orang tua, kemungkinan yang akan terjadi adalah peningkatan jumlah perkawinan anak," sebutnya kepada ABC.
Sekar mengatakan penilaian itu didasari oleh hasil riset Koalisi 18+ di tahun 2016 yang menyebutkan 89 persen permohonan perkawinan anak dilakukan atas dasar permintaan orang tua, karena orang tua khawatir anaknya akan berzina.
Ia juga mengutip data Pusat Studi Kajian Gender Universitas Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di tahun yang sama terkait perkawinan anak itu.
"Tingginya angka perkawinan anak sejalan dengan tingginya angka putus sekolah dan kematian Ibu karena sistem reproduksi dari anak perempuan yang menjadi calon Ibu belum mumpuni untuk melakukan persalinan," jelasnya.
Sama halnya dengan Pasal 417, Pasal 419 juga menggunakan delik pengaduan. Dalam hal ini, pengaduan bisa diajukan oleh kepala desa atau pejabat sejenis dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang diadukan.



"Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP juga kontra produktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti," paparnya.
Dengan adanya pasal ini menyebabkan ranah privasi yang keluar
Pakar hukum Anugerah Rizki Akbari mengatakan pasal 417 dan 419 dalam RKHUP itu menimbulkan kekhawatiran bahwa persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga semacam 'dipromosikan' untuk diselesaikan dalam jalur pidana.



"Baru kalau enggak bisa, hukum pidana bisa masuk," ujar dosen di Sekolah Hukum Jentera ini.
Kriminalisasi tersebut, kata Anugerah, tidak jelas arahnya. Ia membenarkan pemaparan Sekar bahwa di Indonesia, masih banyak sekali terdapat perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pasangan.
"Jadi ketika dia tidak bisa membuktikan dirinya itu adalah pasangan yang sah dan biasanya pembuktiannya itu adalah dengan menggunakan pencatatan dari negara, maka itu juga berpotensi diproses."
Dalam konteks ini, sebut Anugerah, batasan privasi yang dimiliki oleh individu menjadi terancam



Hal yang lebih penting adalah nilai pencelaan terhadap perbuatan yang termuat dalam sanksi pidana.
"Jadi dengan memberikan sanksi pidana terhadap perbuatan, kaya misalnya tadi kohabitasi, maka kita memberi justifikasi bahwa perbuatan itu betul-betul tercela," jelas Anugerah, yang biasa disapa Eki ini.
"Karena perbuatan itu betul-betul tercela maka dia akan memberikan stigma."
Meski stigma dan pencelaan tersebut, dalam konteks formalnya, dijalankan oleh aparatur negara seperti polisi, jaksa dan hakim di pengadilan, pembuat RKHUP serta masyarakat juga harus mengantisipasi respon-respon sosial terhadap perbuatan tersebut.

Lalu apakah pasal tentang perzinahan ini berdampak positif atau negatif bagi negara indonesia? Mengapa negara harus repot-repot mengurusi hal sensitif tentang zina ini? 

Menurut pendapat pribadi saya setelah mempelajari ini,

Pasal ini dapat berdampak positif bagi negara indonesia karena negara ini negara yang religius dan tabu soal seks, dengan adanya
pasal ini juga dapat menjaga kesakralan pernikahan dan mencegah adanya seks bebas

Namun hal ini terlalu sensitif untuk dibicarakan dan terlalu mendalami privasi seseorang

Dan saya tidak setuju dengan sering terjadinya penggerebakan di rumah kontrakan dan tempat menengah ke bawah lainnya.
Sedangkan di tempat yang mewah seperti hotel dan apartment jarang sekali ada penggerebakan atau diusut oleh aparat.

Baiknya pasal ini harus di pelajari lebih lanjut supaya tidak terjadi banyak pihak yang tidak setuju

tetapi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau tidak nyaman akan perzinahan yang dilakukan, pasal ini sangat baik adanya.


Sumber:
(Snbc.com)
(Alinea.id)
(Kompas.com)
(Detik.com)

(Tempo.co)


Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas dasar-dasar penulisan

Nama : Rachma Alya Khairunnisa
Kelas  : 1B penerbitan
NIM    : 19030102
Dosen pembimbing : Nurul Akmalia S.Ikom, M.med.Kom

Comments